Tanah Penghabisan

(How Much Land Does a Man Want/Leo Tolstoy/Priharto-Bobo No. 50/XXVIII)

"Aku bosan miskin," kata Pahom pada suatu hari.
Istri dan anak-anaknya tertawa.
"Aku ingin kaya. Aku ingin punya tanah yang lebih luas. Juga ternak yang lebih banyak. Tidak seperti sekarang, hanya cukup untuk makan keluarga kita saja," lanjut Pahom.
"Kalau begitu, bekerjalah lebih rajin. Aku dengar, tetangga kita yang kaya itu akan menjual tanahnya," kata istri Pahom.
Pahom ingin, ingin sekali, membeli tanah itu. Dia berpikir keras bagaimana caranya.
"Kita beli saja tanah itu. Caranya, kita jual semua sapi kita. Uangnya kita belikan tanah itu," kata Pahom dengan suara sangat gembira keesokan harinya.
Pahom lalu menjual semua ternaknya dan membeli tanah itu. Sekarang tanahnya lebih luas dari yang dimiliki sebelumnya. Dia pun bekerja lebih keras mengolah tanahnya. Hasilnya menakjubkan. Panennya melimpah. Uang hasil panennya kembali dibelikan tanah sehingga tanah Pahom makin luas. Pahom juga membeli ternak.
Pahom kemudian membagi dua tanahnya. Sebagian untuk tanah pertanian, sebagian lagi untu tempat merumput ternaknya. Masalah mulai timbul ketika sapi-sapi tetangga Pahom ikut merumput di tanah peternakannya. Karena kesal, Pahom memagari seluruh tanahnya. Dasar binatang, meskipun sudah di pagar, tetap saja sapi-sapi itu merumput di tanah Pahom. Pagar yang dibuat Pahom sia-sia saja. Dengan mudah sapi-sapi itu merubuhkannya.
Pahom mengadukan kekesalannya kepada hakim setempat. Hakim lalu menyuruh para pemilik sapi itu membayar denda akibat perusakan pagar oleh sapi-sapi mereka. Hal itu membuat tetangga-tetangga tidak senang pada Pahom.
"Sombong sekali dia sekarang."
Pahom tidak peduli.
Tetangga semakin membenci.
Akhirnya Pahom memutuskan pergi.
Pahom dan keluarganya pindah ke tempat yang jauh dari desa asalnya. Penduduk di tempat itu masih sedikit sehingga harga tanah masih sangat murah. Karenanya, Pahom bisa membeli tanah yang lebih luas dari yang dimilikinya sebelumnya.
"Betapa senangnya kalau tanahku lebih luas lagi," katanya pada anak dan istrinya.
Pada suatu hari ada orang memberi tahu tentang tanah yang subur dan murah harganya.
"Tapi tempatnya agah jauh," kata orang itu.
"Sejauh apa pun akan kudatangi," jawab Pahom.
Lalu, dengan membawa uang yang banyak dan bekal yang cukup Pahom pun pergi ke tempat itu, negeri Bashkir namanya. Ternyata, tanahnya memang subur. Dan harganya pun murah, murah sekali.
"Dengan uang sebanyak ini kau boleh membali tanah seluas kau suka," kata orang yang rupanya menjadi semacam kepala suku di tempat itu.
Pahom diberi waktu satu hari penuh untuk menentukan luas tanah yang akan dimilikinya. Caranya, Pahom harus menancapkan sejumlah patok dengan membentuk bidang segi empat di atas tanah seluas dia suka. Dimulai dari tempatnya berdiri sekarang dan berakhir di tempat yang sama.
"Ingat, waktumu hanya satu hari. Sebelum matahari terbenam, kau harus sudah di sini lagi. Kalau tidak, maka kau tak akan mendapat apa-apa. Dan uangmu tak kembali. Sekarang, kau boleh mulai pekerjaanmu. Kami akan menunggumu di atas bukit ini," kata Sang Kepala Suku.
"Baik," sahut Pahom.
Pahom pun mulai menancapkan patok pertamanya. Karena waktu yang dimilikinya cukup banyak, Pahom merasa tidak perlu buru-buru. Setelah sadar bahwa dengan cara itu tanah yang diperolehnya tidak akan luas, Pahom mulai mempercepat lagkahnya. Kadang-kadang Pahom berlari. Pada jarak yang sudah cukup jauh dari patok pertama, Pahom menancapkan patok keduanya. Setelah itu bergegas lagi, setengah berlari untuk mencapkan patok berikutnya. Begitu seterusnya. Entah sudah berapa patok ditancapkannya. Jarak antara Pahom dan Kepala Suku beserta anak buahnya kini sudah begitu jauh sehingga mereka kelihatan begitu kecil.
Matahari kian tergelincir ke barat, pertanda hari semakin sore. Pahom seperti disadarkan bahwa waktu yang dimiliki tak banyak lagi. Dia pun berlari ke arah bukit tempat sang kepala suku beserta anak buahnya menunggu. Dia berlari, berlari, dan berlari. Pahom berlari lebih kencang dari sebelumnya.
"Ayo, cepat! Atau kau akan kehilangan uangmu!" begitu teriak orang-oang di atas bukit yang menunggunya.
Pahom mempercepat larinya. Jaraknya masih agah jauh dari bukit yang ditujunya. Hari makin sore.
Pahom cemas. Dia semakin mempercepat larinya.
Tinggal beberapa belas meter lagi.
Engahan nafas Pahom mulai terdengar jelas.
Kini tinggal beberapa meter lagi.
Tiba-tiba orang-orang memekik.
Pahom jatuh tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Orang-orang pun gaduh ketika Pahom ternyata tak bangun lagi. Mati. Sang Kepala Suku lalu menghampiri tubuh Pahom, kemudian membuat lingkaran yang sedikit lebih besar dari tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
"Kuburkan dia di sini. Inilah tanah penghabisan yang bisa dia miliki. Orang mati tak membutuhkan tanah yang lebih luas dari ini." *****

September 5th, 2006