Oleh Chandra Kurniawan

“Kadang ke Kufah, kadang ke Bashrah, kadang ke Hijaz, dan kadang ke Yaman. Sampai kapan?”

“Bersama
mihbarah (wadah tinta) sampai ke maqbarah (kuburan),” jawab Imam Ahmad
bin Hanbal saat ditanya tentang kegigihannya dalam menuntut ilmu.

***

Setelah membaca buku Riwayat Sembilan Imam Fikih, aku berkata
dalam hati, bahwa aku adalah orang besar. Dan kebesaranku dimulai dari
apa yang telah kutulis selama ini. Tulisan-tulisanku merupakan bentuk
lain dari perasaan, kemarahan dan kebencianku akan suatu hal.

Aku
berpikir bahwa aku adalah orang besar yang kelak akan memikul amanah
dakwah dan ummah. Tapi tiba-tiba hati kecilku bertanya,
“Perangkat-perangkat apa saja yang telah engkau miliki dan jalan apa
saja yang telah engkau tempuh untuk mendapatkannya?” Aku menjawab, “Aku
belum punya apa-apa selain keinginanku yang menggebu-gebu.” Hati
kecilku kembali berkata, “Aku tahu itu, tetapi itu belumlah cukup.
Keinginan itu harus diiringi dengan pelaksanaan yang baik dan
konsisten. Engkau harus menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan tidak
setengah-setengah, atau engkau tidak akan pernah mencapainya. Selama
ini aku perhatikan engkau tidak menjalankannya dengan teguh. Engkau
lemah oleh bujuk rayu setan dan kemudian menjerumuskanmu pada pelbagai
bentuk kemaksiatan. Walaupun pada akhirnya engkau mengakui kesalahanmu
itu. Engkau harus kuat. Engkau harus sabar. Bergaullah dengan
orang-orang yang shalih karena mereka akan menjaga dan membimbingmu.
Takutlah akan azab-Nya yang pedih dikala engkau seorang diri. Tutuplah
rapat-rapat mulutmu dari perkataan dusta. Pergunakanlah harta bendamu
untuk tujuan yang mulia. Jauhilah sumber-sumber fitnah. Banyaklah
menuntut ilmu dan merenungkannya. Tepati janji yang pernah engkau
ucapkan. Dan rajin-rajinlah mendekatkan diri kepada Allah.”

Nasihat
yang baik. Hati kecilku berkata benar karena ia tak pernah berdusta.
Menjadi orang besar bukan perkara mudah, pikirku. Menjadi orang besar
berarti mempertaruhkan seluruh kehidupan untuk menggapai apa yang
dicita-citakan. Ini tentu saja akan menyedot dan menguras seluruh
energi, pikiran, tenaga, dan waktu. Aku pikir, betapa hebat dan
mulianya orang-orang besar itu karena mereka telah menang dan kembali
dengan jiwa yang tenang. Benarlah apa yang dikatakan seorang ulama,
janganlah engkau hanya melihat kesuksesan seseorang, tetapi lihatlah
proses mereka meraih kesuksesan itu.

Dari sembilan imam fikih
yang kubaca sejarahnya, tak satupun yang tidak pernah mendapat ujian
dan cobaan; dipenjara, diasingkan dan disiksa. Bahkan Imam Zaid bin Ali
dibunuh dan mayatnya disalib di tempat umum. Untuk menjadi orang besar,
mereka harus mempertaruhkan apa yang mereka punya termasuk diri mereka
sendiri. Mereka tidak terikat pada suatu apa pun kecuali hanya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Jika ada perkataan mereka tidak sesuai dengan
ketentuan Allah dan Rasul-Nya, mereka menyuruh kita agar
meninggalkannya. Mereka tidak merasa malu mengatakan “saya tidak tahu”,
sekalipun ilmu mereka luas dan kepakaran mereka tak tertandingi. Sejak
kecil mereka sudah gigih menuntut ilmu dan merenungkan
kejadian-kejadian yang ada disekelilingnya sehingga hati menjadi peka
terhadap problematika umat. Tidak heran jika mereka mampu menghafal
al-Quran sejak usia 10 tahun, 9 tahun, atau bahkan kurang dari itu.
Bandingkan dengan keadaan kita saat ini, di usia yang kepala dua, tiga,
atau bahkan lebih dari itu, kita belum mampu menghafalnya dengan
sempurna. Pada usia dini pula, mereka telah mampu menghafal hadits dan
buku-buku karangan guru mereka. Semangat dan etos kerja yang telah
tertanam sejak kecil, ditambah dengan lingkungan yang kondusif
(lingkungan para alimin dan shalihin), setahap demi setahap cita-cita mereka raih.

Namun,
bagi kita, perjuangan belum terlambat untuk terus kita kumandangkan.
Dengan segala apa yang ada pada diri kita dan dengan semangat yang kita
kobarkan dan dengan amal yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh,
demi Allah, semua itu tidaklah sia-sia. Kita harus bangkit dari
keterpurukan dan kemalasan ini. Kita harus raih kemuliaan sebelum ajal
datang menjemput. Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika tersohor dan
penemu ilmu aljabar, ternyata baru belajar matematika ketika berusia 24
tahun. Sebelumnya dia adalah pemuda pengangguran yang senang bermain
musik. Tapi dia sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah
kesia-siaan dan kelalaian. Kemudian dia beralih dan mengerjakan
pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat. Usia bukanlah penghalang untuk
meraih apa yang dicita-citakannya. Kelak beliau dikenal sebagai sosok
yang menguasai banyak ilmu pengetahuan mulai dari fisika, kimia,
astronomi, filsafat, matematika, dan tentu saja pandai memainkan alat
musik.

Imam Bukhari biasa bangun dari tidur, lalu menyalahkan
lampu dan menuliskan faedah suatu hadits yang terlintas dalam
pikirannya, kemudian tidur lagi dan kembali bangun hingga beliau dalam
sebagian malam melakukan perbuatan ini sampai 20 kali.

Imam Abul
Wafa bin Aqil al-Hanbali berkata, “Tak halal bagiku menyia-nyiakan
sejam pun dari umurku. Sampai-sampai bila lidahku sudah tak mampu untuk
bertutur kata, dan penglihatanku tak bisa membaca, aku tetap
menjalankan daya pikirku meskipun aku berbaring istirahat. Sehingga aku
tak akan bangkit kecuali telah terlintas dalam pikiranku apa yang akan
kutulis. Pada umur 80 tahun aku amat gemar kepada ilmu, yang tak
kualami ketika aku masih berumur 20 tahunan.”

Imam Ibnul Qayyim
al-Jauziyah berkata, “Saya kenal seseorang yang sedang sakit demam dan
sakit kepala, sedang kitab yang dibacanya tetap berada di atas
kepalanya. Apabila sedang siuman maka ia membacanya dan apabila sedang
sakit yang sangat, maka ditaruhnya kitab itu di atas kepalanya. Di
suatu hari tabib memeriksa sakitnya itu, sedang ia dalam keadaan
sedemikian itu, lalu tabib itu berkata, ‘Sungguh tuan jangan melakukan
hal ini (membaca), karena akan membahayakan ketahanan tubuh tuan dan
dapat berakibat lebih fatal lagi’.”

Syaikh Abdul Adzim bercerita
tentang Ishak bin Ibrahim al-Muradi, sebagaimana penuturannya, “Saya
belum pernah melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya
sepanjang siang hingga larut malam. Saya bertetangga dengan beliau,
rumah beliau dibangun setelah 12 tahun rumahku berdiri. Setiap kali
saya terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari
dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan
sewaktu makan beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.”

Menjelang
wafat Imam ath-Thabari, Ja’far bin Muhammad memanjatkan doa untuknya.
Ath-Thabari kemudian meminta tempat tinta dan selembar kertas dan
menulis doa itu. Dia ditanya, “Apa arti semua ini?” Maka dia menjawab,
“Sepantasnyalah bagi seorang untuk memungut ilmu hingga menjelang
kematiannya.” Beberapa saat kemudian beliau wafat.

Imam al-Izz Izzuddin Abdussalam meninggal dunia pada usia 83 tahun pada saat beliau sedang berusaha menafsirkan ayat al-Quran, “Allahu nuurus samawati wal ardh” di hadapan murid-muridnya. Achdiat K. Miharja penulis novel Atheis, mampu menulis novel setebal 219 berjudul Manifesto Khalifatullah pada saat berusia 94 tahun.

Merekalah
orang-orang yang tidak terhalang oleh waktu dan peristiwa. Bagi mereka,
menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang banyak adalah keutamaan
yang besar dan harus mereka jalani hingga maut datang menjemput. Tidak
ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, berkarya dan meraih prestasi.
Berhenti berarti kalah! Karena orang yang berhenti sama saja dengan
orang yang mati.

seruling_daud@yahoo.com http://penulis-muda.blogdrive.com

February 5th, 2007